PLACE: NORTH ART SPACE
DIVERGENCE
Jakarta International Stencil Art Exhibition 2011
KURATOR : Frigidanto Agung -- Selo Riemulyadi
ARTIST : JAKARTA (Reflect, Stenzila, Total Terror, UBC)
JOGJAKARTA ( Arie Diyanto, Farid Stevy, Farhan Siki, Sigit Bapak)
BALI (I Made Aswino Aji)
PERANCIS ( Goin, Jinks Kunst)
JERMAN (Pisa 73, Czarnobyl, Leckomio)
POLANDIA (M-City)
SPANYOL (BTOY)
AUSTRALIA (Vexta)
USA (Above, Mathew Curran)
OPENING : 4 Maret 2011-- 19.00 WIB
EXHIBITION : 5 Maret - 5 April 2011
OUTDOOR : 28 Februari – 3 Maret 2011
Perkembangan seni stencil di Indonesia belum mendapat pengapresiasian yang baik dalam wilayah seni visual maupun grafis. Hal ini dibuktikannya melalui pameran-pameran yang berskala nasional semisal: Trienalle Grafis, Bienalle dan ajang pameran-pameran. Berbeda dari media lain, perkembangan seni stencil selalu melibatkan publik serta teknologi terapan, yang telah memperluas kemampuan untuk menghasilkan lapisan makna tak terbatas. Perjumpaan antara medium hingga ruang telah mengubah cara di mana orang memandang realitas.
Perkembangan sejarah seni Stensil yang populer sebagai metode buku ilustrasi, dan untuk tujuan teknik berada pada puncak popularitas di Perancis selama tahun 1920-an. Ketika seni stensil yang digunakan dalam cara ini, mereka sering disebut "pochoir". Dalam proses Pochoir, cetak dengan garis-garis besar rancangan dibuat, dan serangkaian stensil digunakan melalui bidang warna yang diaplikasikan dengan tangan ke halaman. Pochoir sering digunakan untuk menciptakan warna intens cetakan, dan yang paling sering dikaitkan dengan Art Nouveau dan Art Deco. Stensil mungkin telah digunakan untuk corak kain pada waktu yang sangat lama, mungkin teknik mencapai puncak kecanggihan dalam Katazome dan teknik lain untuk digunakan pada pakaian sutra selama zaman Edo di Jepang. Di Eropa, dari sekitar 1450 mereka sudah sangat umum digunakan untuk master cetakan warna dasar dicetak dalam warna hitam dan putih.
Dikenal pertama buku yang akan dicetak dengan menggunakan stensil adalah Alkitab. Stensil memiliki banyak aplikasi praktis dan konsep stensil sering digunakan dalam industri, komersial, artistik, perumahan dan rekreasi pengaturan, serta oleh militer, pemerintah dan manajemen infrastruktur. Mould/master cetakan digunakan untuk membuat sebuah kerangka untuk foto tersebut. Cetakan stensil dapat dibuat dari bahan apa pun yang akan mengadakan bentuknya, mulai dari kertas biasa, kardus, lembaran plastik, logam, dan kayu.
Banyak karya telah membuktikan bahwa seni stencil, sebagai seperangkat praktek berdasarkan teori, dapat menunjukkan, merefleksikan dan mengomentari banyak hal dalam masyarakat kontemporer. Beberapa seniman telah berusaha untuk mendekati isu-isu mulai dari pribadi hingga publik luas dengan perspektif yang berbeda-beda, termasuk masalah publik dan pertanyaan yang diajukan sekitar hubungan peleburan perbatasan antara "nyata" dan "khayalan", "asli" dan "salinan" serta "kebenaran" dan "dusta".
Seorang penulis dari Amerika kemudian mengadakan riset dan mencoba mengklasifikasikan stenzil art yang bermula dari street art:
Russel Howze: Tiga Medium Seni Jalanan dan Fungsi Persebaran
Ada tiga medium yang menonjol pada praktik seni jalanan: mural yang
dekat dengan teknik lukis realis dan membutuhkan logistik cukup besar;
graffiti yang banyak bersandar pada karakter aksara (kaligrafi) dan
piktogram yang lebih sederhana secara teknis; dan seni stensil
(menggunakan bingkai cetak, alias mould) yang dari segi kerumitan berada
di antara ke dua medium sebelumnya.
Apa artinya?
Salah satunya: mural lebih memberi peluang pada
mereka yang sudah memiliki kemampuan lukis dan
logistik yang cukup kompleks (termasuk seniman
akademis yang bermaksud keluar dari batasan
sistem seni yang berlaku), sementara graffiti sama
sekali meninggalkan gambar dan mencukupi diri
dengan men-tag kode-kode atau aksara untuk
menyatakan kehadiran diri di sepotong ruang kota.
Stensil, di satu sisi tetap mempertahankan kemungkinan
me-(re)-produksi gambar (imaji) tanpa mensyaratkan
kemampuan (akademis) yang kompleks dan di sisi lain
menanggapi kebutuhan akan fleksibilitas gerak yang
diperlukan dalam praktik “gerilya visual”. Russel Howze
menganggap stensil sebagai medium perantara, di tengah
graffiti dan mural. Stensil dapat direproduksi dengan cepat
ke sejumlah tempat, atau disusun repetitif untuk memenuhi
bidang yang luas di satu tempat.
Jadi, seni stensil menawarkan kompleksitas tapi juga
keleluasaan gerak kepada para praktisinya.
Dalam perkembangannya, stensil telah menjadi sebuah
medium “seni rupa bawah” (baca: low brow) yang
berkembang cepat dengan bantuan internet. Metoda visualnya
juga telah dipungut oleh seniman berlatar akademis